• Breaking News

    Naran hakerek, sa mak hakarak hakerek sai

    Sabtu, 27 Desember 2008

    Mungkinkah Ajalku Berakhir...

    ANCAMAN terhadap harkat kemanusiaan tatanan masyarakat-masyarakat di dunia sudah bersifat global. Tantangan ini tak bisa ditangkis dengan mengandalkan nilai-nilai tradisional. Ancaman ini hanya dapat dihadapi dengan mengacu kepada nilai-nilai kemanusiaan universal yang lahir dari kesadaran terhadap apa yang dinamakan harkat dan martabat manusia.Menjelang akhir tahun 2008, saya sengaja menurunkan kembali drama kemanusiaan di era kekinian, khususnya yang terjadi di Bumi Borneo –daerah yang kaya raya dengan hasil tambangnya. Catatan atau cerita memilukan ini, mudah-mudahan bisa menjadi bahan renungan kita semua bahwa masing-masing manusia telah mendapatkan anugerah yang begitu besar dan tak ternilai harganya. Anugerah dari Tuhan itu bernama harkat dan martabat sebagai manusia. Anugerah itu tak boleh terlukai atau sengaja dilukai oleh siapapun juga dengan berbagai macam alasan. Berikut kisah (derita) Anita yang sudah pernah dimuat di Tribun Kaltim dan Kompas.com.BERAT badannya 32 kilogram. Tingginya sekitar 165 centimeter lebih. Kondisi fisik itu tentu tak ideal seperti layaknya manusia normal biasa. Belum lagi betis. Jika dilihat sepintas, tentu tak lebih besar dari ukuran lengannya. Itulah sekilas gambaran Ny Anita.Saat ditemui Tribun di ruang tunggu Klinik Al-Afiat, Jalan A Yani, Balikpapan, matanya terlihat menerawang. Seakan-akan tak ada lagi harapan, karena di dalam benaknya ada tanggungan biaya perawatan sebesar Rp 25 juta yang harus ia bayar.Sementara, keluarganya tak bisa membantu meringankan beban berat Ny Anita yang semakin mengimpit akibat tekanan ekonomi. Di ruang tunggu Klinik Al-Afiat yang tak begitu luas, kira-kira berukuran 3 x 6 meter, wanita itu tampak terdiam duduk di kursi, sembari kedua tangannya dilipat ke bagian ujung lututnya. Lagi- lagi, matanya terlihat kosong. “Kamu siapa?” tanyanya kepada Tribun.Saat ditanya bagaimana kondisinya saat ini, Ny Anita mengaku sudah agak sehat. “Lumayan… Cuman, saya masih belum bisa keluar karena pihak kinik mengharuskan saya melunasi segala tanggungan biaya pengobatan dan perawatan,” ungkapnya.Pagi itu, warga Kecamatan Waru, Penajam Paser Utara (PPU), hanya bisa pasrah. Perempuan berusia 20 tahun tersebut mengaku tak diperbolehkan meninggalkan Klinik Al- Afiat karena keluarganya tidak mampu menebus biaya perawatan sebesar Rp 25 juta.Anita dirawat di klinik itu sejak 13 Maret 2008 lantaran sesak napas akibat penyakit paru-parunya cukup parah. Penyakit itu timbul selang beberapa hari setelah ia melahirkan anak pertamanya di Puskesmas Babulu, PPU, 29 Februari.“Selang dua hari setelah melahirkan, penyakit paru-paru saya kambuh dan saya dirujuk ke puskesmas, lalu dirujuk ke RSU PPU. Sejak saya melahirkan sampai sekarang saya belum sempat melihat bahkan mengendong anak saya. Saya ingin sekali memeluknya,” kenangnya.Putra pertamanya itu diberi nama Muhammad Khalif Akbar. Saat ini, Khalif dititipkan kepada seorang warga berasal dari Jawa yang ada di Kecamatan Babulu. “Saya titipkan ke warga asal Jawa itu karena saya anggap beliau seperti ibu kandung sendiri. Ibu saya bekerja di Balikpapan sebagai buruh warung makan di daerah Karangrejo.”Karena keterbatasan alat, maka tim medis setempat merujuk ke klinik di Balikpapan. Pihak keluarga kemudian berinisiatif membawa Anita ke Balikpapan untuk berobat di Klinik Al Afiat dengan uang pendaftaran Rp 250.000. Berdasarkan diagnosa dokter, Anita menderita penyakit tipus dan paru-paru.Karena cukup akut, tim medis merawatnya selama sebelas hari secara intensif dengan menghabiskan sebelas tabung oksigen. Biaya perawatannya tentu saja cukup tinggi. Sehari bisa mencapai Rp 580.000, dengan rincian biaya inap plus obat, oksigen, dan makan. Sejak ditangani tim medis di Klinik Al-Afiat, kondisi Anita berangsur membaik walaupun lengan wanita itu diinfus selama dua bulan. Begitu kondisinya membaik, infusnya lalu dicabut.Seharusnya Anita bisa pulang ke rumahnya untuk menemui anaknya, Muhammad Khalif Akbar. Tetapi, karena ia belum membayar semua biaya perawatan dan pengobatan yang mencapai Rp 25 juta, Anita belum diperbolehkan pulang. Anita hanya bisa pasrah. Hingga Jumat (13/6) kemarin, wanita asal Makassar, Sulawesi Selatan, itu masih menginap di klinik tersebut .Itu berarti, ia sudah tiga bulan ia dalam pengawasan tim medis. Di sisi lain, biaya pun semakin membengkak. Hingga kini keluarga Anita belum bisa melunasinya. Ibunya, Ny Rosmiah, Rabu (11/6) malam kemarin, datang ke klinik secara sembunyi-sembunyi. Ayahnya, bernama Manaf, lebih banyak berdoa di pondokannya.Sebenarnya, menurut informasi yang diperoleh Tribun, biaya perawatan dan pengobatan Ny Anita melebihi Rp 25 juta. Tetapi, karena pihak klinik merasa iba, maka ada diskon khusus buatnya. Ketika dikonfirmasi, Jumat (13/6), dr Sri Nurulita, dokter di Klinik Al-Afiat, enggan menjelaskan secara detail soal penanganan Anita.“Kami sudah memberikan diskon kepada Anita, namun keluarganya tidak punya niat untuk membayar,” tegasnya. Hingga kini, keluarga Anita baru membayar biaya perawatan dan pengobatan sebesar Rp 250.000. Karena kesulitan membayar, pihak klinik lalu menyita handphone milik Anita. “Benar kami menyita HP Anita untuk menebus biaya perawatannya,” ujar dr Sri.***DI TENGAH keharuan, Manaf mengambil sesuatu di saku celananya. “Ini surat Anita yang pernah dia kirim saat masih dirawat di Balikpapan,” kata Manaf sembari menyerahkan surat yang ditulis pada selembar kertas dengan tinta biru kepada Tribun Kaltim. Matanya sembab. Begitu juga mata dr Andi Ariani yang siang itu mengunjungi Anita. Berikut isi surat Anita yang ia tulis sendiri ketika masih berada di klinik di Balikpapan.Sudah tiga bulan aku di RS ini dalam keadaan yang sudah sehat, tapi sampai hari ini pun aku belum keluar. Keluargaku terimpit biaya yang jumlahnya tidak sedikit yaitu sebesar 23 juta lebih. Mungkin sekarang sudah 24-25 juta. Aku mengerti semua ini kesalahan bapak aku yang selalu banyak janji-janji. Sehingga sekarang ini rasa pengertian dan toleransi dari pihak RS sudah tidak ada lagi. Tapi semua itu terjadi karena memang benar-benar keluargaku sedang kekurangan ekonomi.Sekarang keluarga aku semakin tidak ada bahkan menjauh dari sisi aku. Hp yang tadinya jadi alat komunikasi untuk mengetahui keadaan anakku, suamiku dan lainnya sudah tidak ada lagi, diambil oleh pihak RS. Keluarga satu-satunya yang selalu menemaniku kini sudah tidak diizinkan menjenggukku.Sekarang aku hanya sebatang kara, dimana aku harus meminta air minum, kemana aku harus meminta makan, kemana aku harus meminta sedikit kasih sayang, sedikit perhatian bahkan senyum pun sudah tidak ada…. Mungkinkah ajalku berakhir disuntikan dokter. Ya Allah, aku hanya bisa berpasrah kepada-Mu. Kalau Engkau masih mengizinkan untuk bertemu dan berkumpul dengan keluargaku dalam keadaan aku hidup, alhamdulilah…. Tapi kalau sebaliknya, aku pasrah!. Kalo aku harus mati yang pasti bukan keinginanku untuk mati. Aku sayang keluargaku. Aku rindu keluargaku… Kemana semua kalian, aku ingin bertemu.***MANAF mengaku, setelah menerima surat itu ia tak henti-hentinya menangis. Seusai shalat maghrib ia selalu memanjatkan doa agar diberi rezeki dari Allah. Bahkan tengah malam pun ia menangis karena mengingat surat anaknya itu. Saat ini ia bahagia karena anak keduanya dari enam bersaudara sudah kembali meski masih dalam perawatan. “Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka yang telah membantu Anita selama ini. Hanya Allah yang bisa membalas semua bantuan mereka,” ujar Manaf terisak-isak.Allah Maha Besar, Allah Maha Mendengar dan Allah Maha Melihat terhadap apa-apa yang dialami makhluknya di muka bumi. Seperti doa yang dipanjatkan Manaf, ayah kandung Ny Anita. Doa itu dijabah oleh Allah. Sabtu (14/6) malam, markas Tribun mendadak didatangi seorang hamba Allah. Lelaki itu tak mau menyebutkan identitasnya.“Saya prihatin dengan penderitaan yang dialami Anita. Dimana empati kita semua? Ternyata di daerah yang kaya raya ini, masih ada manusia yang menderita dan kita cenderung tidak peduli serta cuek dengan kenyataan seperti ini,” kata pria itu kepada Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim Achmad Subechi, sambil menitipkan amplop sebesar Rp 19 juta rupiah.“Sisihkan Rp 1 juta untuk biaya perjalanan Anita ke desanya. Sisanya bayarkan ke pihak klinik. Hari Senin nanti saya akan lunasi semuanya. Usahakan malam ini dia keluar dari klinik. Kalau pihak klinik tidak mau, kamu saja yang menjadi jaminannya. Saya benar-benar kasihan dan prihatin dengan keadaan Anita,” tutur lelaki yang lahir dan dibesarkan di Kaltim.Mendapat amplop yang berisi sebesar itu, Achmad Subechi, spontan berdiri dalam menyalami sang dermawan yang baik hati. “Allahu Akbar…. Allah Maha Besar. Semoga shodaqoh bapak diterima dan dilipatkgandakan oleh Allah.” Pria itu terdiam. Ia lalu berpesan kepada Achmad Subechi agar malam ini juga segera menutup semua biaya perawatan dan pengobatan Ny Anita yang totalnya sekitar Rp 25 juta.“Usahakan malam ini dia keluar dari klinik ya… Antar ke rumahnya, biar dia ketemu anaknya. Nanti, kalau dia sudah sehat, saya diberi alamat rumahnya dan saya akan bantu Anita setiap bulannya agar beban penderitaannya sedikit terkurangi,” pintanya.Mendengar penjelasan itu, bulu kuduk Achmad Subechi berdiri. Malam itu juga ia mengajak beberapa wartawan dan redaktur mendatangi Klinik Al-Afiat, di Jalan Achmad Yani, Balikpapan untuk menyampaikan amanah. Ketika berada di klinik, karyawan bagian kasir dan administrasi sudah pulang. “Kata Bu dokter, lebih baik diselesaikan besok saja. Saya sendiri juga takut Pak menyimpan uang sebanyak itu. Mau saya tempatkan dimana,” kata seorang karyawati.***SABTU (16/6) hari masih pagi. Jam menunjukkan pukul 11.00 Wita. Seorang lelaki berbadan tegap dan berambut cepak, datang ke Klinik Al-Afiat. Lelaki berpakaian doreng tersebut menanyakan keberadaan seorang pasien bernama Ny Anita.“Mana pasien yang bernama Anita,” tanya lelaki tegap yang belakangan diketahui bernama Hendra, kepada salah seorang karyawan klinik Al-Afiat. “Sebentar Pak duduk dulu, nanti dipanggilkan Anita-nya,” jawab seorang karyawan klinik. “Ruangannya dimana? Saya mau lihat,” tanyanya lagi.Petugas klinik lalu memanggil Ny Anita. Tak lama kemudian lelaki berbaju doreng berpangkat mayor itu dipertemukan dengan Ny Anita di ruang tunggu berukuran 3 x 5 meter. “Kamu Anita?” tanya Hendra. Anita mengangguk. “Sudah berapa lama kamu disini? Anita sudah makan?” tanyanya. “Sudah Pak”.Kedatangan sang mayor TNI AD itu ke klinik, tergerak setelah membaca berita di Tribun Kaltim berjudul: Derita Ny Anita tak Boleh Tinggalkan Klinik (edisi Sabtu/14/6 di halaman 1). Lelaki tersebut kemudian bertanya kepada seorang tukang ojek dan tetangga karibnya untuk diantarkan ke Klinik Al-Afiat.“Jujur saya tadi pagi menangis membaca kisah Anita di Tribun Kaltim. Ternyata masih ada warga yang tidak mampu membayar biaya pengobatan karena faktor ekonomi dan saya sangat terharu. Saya dari rumah ke sini… dalam perjalanan, hati saya menangis.. Hati nurani saya tergerak untuk membantunya,” kenang Hendra.Setelah itu Hendra menghampiri penanggung jawab klinik Al-Afiat, Ali Zaini. Ia ingin mengetahui duduk persoalannya. Harapan untuk menolong Anita tak kesampaian. Sebab, Anita masih mempunyai tanggungan. Hendra pun sadar. Ia bukanlah jutawan. Ia hanya abdi negara yang tergerak hatinya.Sekian lama menatap Anita, Hendra kemudian mengeluarkan lembaran uangnya dan menyodorkannya kepada Anita. “Buat kamu, bukan buat bayar rumah sakit. Uang itu dari saya buat makan kamu,” pesan Hendra. Anita awalnya malu-malu menerimanya. Hendra juga meminta sang tukang ojek untuk membelikan makanan dan minuman buat Anita.Setelah melakukan perbincangan panjang lebar, lelaki tegap yang merasa iba terhadap Ny Anita menjelaskan bahwa dirinya sempat berpikir negatif terhadap pihak klinik ini. Akan tetapi, setelah mendapat penjelasan dari pihak penanggung jawab klinik, Hendra akhirnya memahaminya. Karena itu ia berharap kepada para dermawan yang memiliki harta berlebih, mau membantu dan meringankan beban Anita.“Setelah mendapat penjelasan dari penanggung jawab saya bisa memahami. Saya ini orang Padang dan tidak punya hubungan apa-apa dengan Anita. Niat saya bagaimana Anita itu cepat sembuh. Kita hidup kan saling membantu dengan sesama. Jadi saya juga menghimbau kepada masyarakat dan pejabat untuk membantu warganya,” tuturnya.***HUJAN air mata meledak. Semua mata menjadi sembab. Kami pun ikut terharu. Tak terasa, air mata kami ikut menggalir. Ada rasa keharuan yang begitu mendalam, hingga menggetarkan jiwa dan kalbu kami. Adalah Ny Anita. Ia masih muda dan punya segudang harapan meraih kehidupan lebih baik di negeri ini. Tak ada satu pun manusia di muka bumi yang mempunyai hak untuk merebut kebebasannya, membatasi ruang geraknya, apalagi menyangkut tali silaturahim dengan sang buah hati Muhammad Khalif Akbar.Berkat kepedulian seorang hamba Allah yang tak mau disebut namanya –membantu biaya perawatan dan pengobatan– Ny Anita Minggu (15/6) kemarin, akhirnya bisa berkumpul bersama anggota keluarganya. Hari itu, Kota Penajam Pasir Utara (PPU), seakan menjadi saksi bahwa masih ada manusia yang peduli, ringan tangan dan mau memahami tingkat kesulitan manusia lain. Selamat berbahagia Anita… Salam buat Muhammad Khalif Akbar…Maha Besar Allah Swt… Bantuan sebesar Rp 19 juta rupiah dari seorang hamba Allah yang tak mau disebutkan identitasnya, telah menolong Anita. Anugerah Tuhan yang mengalir via uluran tangan seorang dermawan, mengantarkan Anita kembali bersama keluarga yang dirindukannya. Bantuan yang diserahkan melalui Tribun Kaltim, dipergunakan membayar tunggakan biaya perawatan dan pengobatan Anita. Belum semua. Dari Rp 21 juta yang dirinci dalam tagihan, baru terpenuhi 18 juta.Tribun telah menunggu di Klinik Al-Afiat Minggu (15/6) sejak jam 09.00 Wita untuk menyelesaikan administrasi. Petugas klinik baru bisa menuntaskannya, pukul 10.00 Wita. Selepas itu, mobil kijang Tribun bergerak membawa Anita mengarungi perjalanan panjang menuju kampung halamannya, La Bangka, Penajam Paser Utara. Beberapa barang bawaan Anita, seperti bantal, kasur, termos, dan rantang dimasukkan ke dalam ruang belakang mobil. Saat berangkat, hujan deras mengguyur. Anita yang duduk di kursi depan tampak kedinginan. Dalam perjalanan itu, ia menutup rapat kaca jendela. Telapak tangan kanannya menggenggam telapak kiri, lengannya pun dirapatkan pada badannya.Mungkin sedikit menghangatkan tubuhnya yang kurus kering. Sebelumnya, perawat melarang Anita terkena suhu dingin AC untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Sepanjang perjalanan, tak banyak kalimat yang diucapkannya. Rombongan tiba di Pelabuhan Kariangau jam 11.40 Wita. Perjalanan mengarungi Teluk Balikpapan memakan waktu selama 1 jam 30 menit. Setelah tiba di pelabuhan feri Penajam pukul 13.30, Tribun kembali melanjutkan perjalanan selama satu jam ke La Bangka.Sepanjang perjalanan, Anita tak merinci lokasi rumahnya. Ia hanya menjawab singkat. “Masih jauh, sedikit lagi, atau sudah dekat..” Pukul 14.35, rombongan tiba di ‘rumah’ Anita, atau lebih tepatnya bangsal kecil yang dikontrak keluarganya. Anita keluar dari mobil. Ia berlari, sembari menggenggam koran Tribun Kaltim. Tanpa menghiraukan tanah yang becek dan licin, wanta itu bergegas menuju rumahnya. Di dapur rumah itu, ada seorang wanita yang selama ini mengasuh Muhammad Khalif Akbar, anak Anita. Wanita itu teperanjat. “Nitaaa…,” katanya dengan air mata yang tak terbendung, sembari memeluk tubuh kurus Anita.Dalam sekejab, hujan air mata meledak. Dekapan itu begitu erat. Lalu, Anita dengan isak yang tertahan berbisik, “Anakku mana Bu?… Anakku mana?”. Sang pengasuh yang matanya masih sembab, segera memberitahu kalau anaknya dititipkan di rumah tetangga. Sejurus kemudian ia memanggil tetangga yang sedang menjaga Alif. Lalu, terjadilah pertemuan mengharukan itu, antara sang Ibu dengan buah hati tercintanya. “Anakku…. Anakku…”***WAJAH Ny Anita yang semula sembab, mendadak berubah menjadi ceria. Ada senyum dari bibirnya nan mungil. Anita lalu bertanya kepada sang pengasuh bayi. “Sudah bisa ketawakah Bu?” Sang wanita pengasuh Muhammad Khalif Akbar, terlihat mengangguk.Sembari menimang Khalif, Anita sedikit memberikan komentar. “Sudah gedhe betul ya…!”. Bahkan, dalam pertemuan mengharukan antara ibu dan sang buah hatinya, Anita sempat mengganti popok Khalif, bocah berusia tiga bulan.Selang berapa lama, Abdul Manaf, ayah kandung Ny Anita, tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Lelaki itu baru pulang dari kebunnya, tempat ia mengais rezeki. Melihat anaknya sudah berada di rumah, Manaf, tak kuasa menahan keharuan manakala kedua belah matanya menatap Anita. Semula ia tak percaya jika wanita yang ada di depannya itu adalah Anita. Seperti mimpi, katanya. Sejak mendengar kabar kedatangan anaknya, Manaf bergegas lari menuju ke rumahnya.Mengetahui wanita yang ada di depannya adalah Anita, lelaki tu segera memeluknya. Air matanya tak bisa dibendung. “Anakku…,” teriak Manaf. Anita lalu berdiri. Ia menyambut pelukan sang ayah. “Bapak…,” teriak Anita.Keduanya larut dalam kegembiraan, walau air mata mereka bercucuran. Sanak kerabat yang ikut menyaksikan pertemuan itu, juga tak henti-hentinya meneteskan air mata. Mereka tak kuasa menahan keharuan. Dengan isak yang masih serak, Manaf meminta maaf kepada Anita. “Maafkan Bapak, Nak… Bapak tak bisa membawamu pulang… Bapak tak punya uang Nak…Bapak hanya bisa berdoa kepada Allah… Setiap malam bapak selalu berdoa, sampai air mata bapak kering,” tutur Manaf.Kepada Anita, Manaf menceritakan bahwa uang yang hasil kerjanya yang ia kumpulkan, tak cukup untuk membayar tagihan. “Bapak hanya bisa berdoa… dan berdoa dan berdoa. Saya bekerja di pembibitan Jarak, PT Japindo dengan upah Rp 35 ribu per hari. Uang itu tak cukup untuk membayar tagihan klinik. Kebutuhan keluarga di sini pun sulit terpenuhi,” kata Manaf kepada Tribun.Ia pun menceritakan perjuangan suami Anita, Ardi. Menantunya itu sudah berusaha mencari biaya pengobatan istrinya hingga ke Makassar. “Setelah 10 hari bekerja, Ardi hanya bisa mengirimkan uang 1,4 juta. Namun uang itu habis untuk membeli susu Alif. Jadi tak sempat dikirimkan ke Balikpapan.”.Mengumpulkan uang sebesar Rp 25 juta bagi keluarga Manaf yang keadaan ekonominya cukup memprihatinkan adalah sebuah keajaiban. Untunglah ada dermawan itu. “Saya hanya bisa mendoakan agar yang membantu kami dipanjangkan umur dan dilapangkan rizqinya oleh Allah. Amin…,” kata Manaf sambil menyeka air matanya.Mendengar doa sang ayah, Anita mengamininya. “Sama seperti Bapak, saya juga mengucapkan terima kasih. Semoga orang yang telah menolong saya dimudahkan rizqi dan selalu diberi kesehatan oleh Allah,” ujar Anita sambil terisak. Doa ayah dan anak itu benar-benar keluar dari lubuk hati paling dalam….sebagai ucapan terimakasih kepada para dermawan. Hanya itulah yang mereka bisa berikan, ketulusan dan keikhlasan hati dalam memanjatkan doa.***JARUM jam menunjukkan pukul 09.00 Wita. Seorang pria tiba-tiba datang ke Klinik Al-Afiat Jl A Yani Balikpapan. Pria itu membawa sebuah amplop berwarna coklat. Setelah dibuka, ternyata amplop berisi uang tunai senilai Rp 5 juta.Sayangnya pria itu menolak menyebutkan identitasnya. Dia menyerahkan uang itu kepada Ambarwati, petugas bagian kasir di klinik Al-Afiat. “Ini uang untuk melunasi biaya perawatan dan pengobatan Anita,” kata Ambarwati menirukan ucapan hamba Allah. Itu berarti biaya perawatan dan pengobatan Anita di klinik, lunas sudah.Ambarwati kemudian menerima uang pecahan Rp 100 ribu itu dan memberikan selembar kuitansi. Semula Ambarwati hanya membuat kuitansi senilai sisa uang yang harus dilunasi Rp 3.334.100. Namun pria itu meminta agar semua uang itu diterima klinik. Alasannya, sisa uang sebanyak Rp 1.665.900 didepositkan untuk keperluan Anita, jika suatu hari nanti memerlukan pengobatan atau perawatan dokter spesialis paru-paru di Klinik Al-Afiat. “Bapak itu meminta kami menyimpan uang senilai Rp 1.665.900 untuk kontrol ulang kesehatan Anita,” ujar Ambarwati.Total biaya perawatan dan pengobatan Anita, sejak 13 Maret hingga 15 Juni 2008 sebesar Rp 37.604.100. Namun pihak klinik mendiskon hingga Rp 15.420.000. Jadi Anita hanya membayar Rp 22.184.100. Hingga Minggu (15/6) dana yang disetor Tribun Kaltim —yang terhimpun dari para pembaca— sebesar Rp 18.000.000. Bila ditotalkan dengan sumbangan dari warga lain senilai Rp 18.850.000 dan masih tersisa Rp 3.334.100. Namun Senin (16/6/2008), semua pembiayaan dilunasi bahkan dideposit. Oleh : Achmad Subechi

    © 2008 Kompas

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Fashion

    Beauty

    Travel